1. Realisme politik menganggap bahwa politik dikendalikan oleh hukum – hukum
objektif yang berakar pada hakikat manusia. Untuk memperbaiki masyarakat, yang
pertama – tama perlu ialah memahami hukum yang mengatur kehidupan masyarakat.
Karena cara bekerjanya hukum ini tidak mudah dipengaruhi oleh hal – hal yang
lebih banyak menurut pilihan kita, maka orang akan menantang nya dengan resiko
kegagalan belaka.
Realisme percaya pada
objektivitas hukum politik. Maka realisme harus pula memercayai kemungkinan
untuk mengembangkan teori rasional yang mencerminkan hukum objektif. Kemudian
realisme juga percaya kepada kemungkinan dalam politik untuk membedakan antara
kebenaran dan pendapat, dengan didukung oleh bukti dan diperjelas dengan alas
an.
Hakikat manusia pada
dasarnya terkandung akar hukum – hukum politik. Oleh sebab itu, dalam teori
politik bukanlah keharusan, bahwa sesuatu yang baru mempunyai mempunyai sifat
baik dan sesuatu yang sudah lama bukan pula suatu kelemahan. Teori politik
harus tunduk kepada uji-ganda (secara logis dan empiris)
Untuk realisme, teori
terdiri dari pemastian fakta dan pemberian arti melalui kemampuan berpikir.
Realisme menganggap. Bahwa sifat politik luar negeri hanya dapat dipastikan
melalui pemeriksaan tindakan – tindakan politik yang dilakukan dan akibat yang
dapat diduga dari tindakan – tindakan itu.
Namun demikian,
pemeriksaan fakta tidaklah cukup. Supaya dapat memberikan arti, kita harus
menempatkan diri kita dalam kedudukan negarawan yang harus menghadapi masalah
politik luar negeri tertentu dalam keadaan tertentu pula. Uji atas hipotesis
rasional ini terhadap fakta yang actual serta akibat – akibatnya, yang
memberikan arti teoritis pada fakta politik internasional.
Konsep realisme politik
untuk dapat melintasi dunia politik internasional adalah konsep kepentingan
yang diartikan dalam istilah kekuasaan. Konsep ini merupakan penghubung antara
pemikiran yang berusaha memahami politik internasional dan kenyataan yang harus
dipahami.
2. Konsep kepentingan yang didefenisikan sebagai kekuasaan, memaksakan
disiplin intelektual kepada pengamat, memasukkan keteraturan rasional ke dalam
pokok masalah politik, sehingga memungkinkan pemahaman politik secara teoritis.
Di sisi pemeran, konsep itu memberikan disiplin yang rasional dalam tindakan
yang menimbulkan kontinuitas. Jadi, teori realis tentang politik internasional
akan berhati – hati terhadap dua buah kekeliruan yang bersifat umum. Yaitu
berkenaan dengan motif dan preferensi ideologis.
Untuk mendapatkan petunjuk
dalam politik luar negeri dari motif para negarawan semata – mata adalah sia –
sia dan menyesatkan. Hal tersebut dikarenakan motif merupakan data psikologis
yang paling menyesatkan, karena dapat diputarbalikkan, sehingga menjadi terlalu
sulit untuk dikenal, melalui kepentingan dan tindakan pemeran yang sama.
Memang benar, bahwa
pengetahuan tentang alasan negarawan dapat memberikan kepada kita salah satu
dari banyak petunjuk tentang kemungkinan arah politik luar negerinya. Akan
tetapi justru tidak dapat memberikan kepada kita petunjuk untuk kita dapat
meramalkan politik luar negeri apa yang akan dipakainya.
Dengan menilai motifnya,
kita dapat mengatakan bahwa ia tidak dengan sengaja akan meneruskan politik
yang moral secara salah, akan tetapi kita tidak dapat berkata apa – apa tentang
kemungkinan keberhasilan mereka. Kalu kita ingin mengetahui kualitas moral dan
politik dari tindakannya, kita harus mengetahui kualitasnya, bukan berbagai
motif nya. Betapa sering negarawan mempunyai motivasi ingin memperbaiki dunia,
tetapi berakhir dengan menjadikan lebih buruk?
Motif yang baik memberikan
jaminana terhadap kebijakan buruk yang disengaja. Yang penting untuk diketahui,
kalau kita ingin memahami politik luar negeri, yang terutama bukanlah motif
negarawan, akan tetapi kemampuan intelektualnya untuk memahami masalah pokok
tentang politik luar negeri maupun kemampuan politiknya.
Politik internasional
menurut penganut teori realis akan menghindari pemikiran keliru lainnya yang
digemari untuk menyamakan politik luar negeri negarawan dengan simpatinya yang
filosofis maupun politis, serta kesimpulan umum yang ditarik dari yang awal ke
yang terakhir. Realisme politik tidak
memerlukan dan tidak pula mengampuni, sikap tidak acuh terhadap cita – cita
politik dan prinsip moral. Akan tetapi realisme politik memang memerlukan
perbedaan tajam antara yang diinginkan dan yang mungkin diinginkan antara
dimana dan kapan saja, dan yang mungkin
menurut keadaan waktu dan tempat yang konkret.
Di bidang internasional,
struktur hubungan internasional yang sesungguhnya cenderung menjadi berbeda
dengan, dan sebagian besar tidak relevan terhadap realitas politik
internasional. Kalau yang disebut pertama menganggap “ Persamaan Kedaulatan “
segenap bangsa, yang disebut akhir – akhir ini adalah didominasi oleh
ketidaksamaan bangsa – bangsa yang ekstrem.
Kerumitan konflik politik
menghalangi penyelesaian masalh yang sedemikian sederhananya. Akan tetapi,
melalui identifikasi masalah atas individu tertentu yang dapat kita kendalikan,
kita mengurangi masalah, baik secara intelektual maupun pragmatis sampai
menjadi ukuran yang dapat dikendalikan. Sekali kita dapat mengidentifikasi
individu dan kelompok individu tertentu sebagai sumber kejahatan, kita
tampaknya telah memahami mata-rantai sebab-akibat dari individu menjuju masalah
sosial. Sehingga, dengan menyingkirkan individu penyebab masalah tersebut, maka
anda telah memecahkan masalah itu.
Realisme politik tidak
hanya mengandung unsur teoretis, tetapi juga unsur yang berdasarkan norma.
Realisme politik memahami, bahwa realitas politik penuh dengan ketidakpastian
dan keadaan yang tidak masuk akal yang sistematik, serta menunjuk pada pengaruh
mereka terhadap politik luar negeri. Namun realisme berbagi dengan semua teori
sosialm kebutuhan demi pengertian teoretism untuk menekan unsur – unsur
rasional dan realitas politik. Karena unsur – unsur rasional inilah yang
menyebabkan realitas dapat dipahami untuk teori.
Realisme politik
menganggap politik luar negeri yang rasional sebagai politik luar negeri yang
baik. Karena hanya politik luar negeri rasional yang memperkecil risiko dan
meningkatkan keuntungan sebanyak mungkin dan oleh sebab itu memenuhi, baik
aturan moral dari kebijaksanaan maupun syarat politis agar mencapai
keberhasilan.
3. Realisme menganggap, bahwa konsep utamanya tentang kepentingan yang
ditegaskan sebagai kekuasaan merupakan kategori objektif yang berlaku secara
universal, tetapi tidak member sifat pada konsep itu dengan arti yang sudah
ditentukan secara definitif.
Corak kepentingan yang
menentukan tindakan politik dalam periode sejarah tertentum tergantung dari
konteks politik dan kebudayaan, dan dalam konteks ini dirumuskan politik luar
negeri.
Kekuasaan dapat terdiri
atas apa saja yang membentuk dan mempertahankan pengendalian manusia atas
manusia. Jadi, kekuasaan meliputi semua hubungan social yang berguna untuk
tuhuan itu, dari kekerasan fisik sampai ikatan psikologis yang paling licikm
yang dipakai untuk saling mengendalikan pemikiran.
Seorang realis memang
percaya, bahwa kepentingan merupakan norma yang berlangsung terus dan yang
dipakai untuk menilai serta mengarahkan tindakan politik, hubungan kontemporer
antara kepentingan dan Negara-bangsa merupakan produk sejarah, dan oleh sebab
itu harus lenyap dalam perjalanan sejarah.
Kaum realis diyakinkan,
bahwa perubahan ini hanya dapat dicapai melalui manipulasi yang rapi dari
kekuatan – kekuatan yang dapat bertahan lama yang telah membentuk masa lampau
sebagaimana pula akan mengadakan masa depan. Kaum realis tidak dapat
dipengaruhi bahwa kita dapat mengadakan perubahan itu dengan menentang realitas
politik yang mempunyai hukum – hukumnya sendiri dengan cita – cita abstarak
yang menolak memperhitungkan hukum – hukum tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar