Bull mendiferensiasikan tatanan
internasional atas tiga pemikiran, yakni Tradisi Realis, Tradisi
Internasionalis, dan Tradisi Universalis. Tradisi Realis memosisikan negara
pada kondisi anarki, dan berperan sebagai aktor utama. Asumsi utama dari
tradisi ini mengedepankan kedaulatan, dan negara selalu dimotivasi oleh
kepentingan nasional.[1] Tradisi Internasionalis
mengakui negara selaku aktor utama, namun tetap tunduk atas peraturan yang
diberlakukan oleh masyarakat (internasional). Sedangkan Tradisi Universalis
berargumen bahwa politik antarnegara merupakan representatif global atas
inividu, tanpa melalui perantaraan negara.
Ketiga
tradisi tersebut memiliki perspektif yang berbeda mengenai peran suatu
Organisasi Internasional (OI). Namun, input dari masing-masing tradisi tetap
melibatkan negara selaku aktor krusial dalam hubungan internasional, seperti:
- Realis: OI sangat bergantung pada kekuatan negara. Hal tersebut disebabkan absennya OI atas armada militer independen, teritorial, maupun pasokan dana berupa pajak. Peran institusi/organisasi internasional menjadi signifikan apabila mampu mengarahkan negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya.[2] Lebih lanjut lagi, menurut kaum Realis, masa depan kedaulatan akan berlangsung statis: negara yang terkuat akan memiliki otonomi independensi lebih atas suatu organisasi.
- Internasionalis: tatanan politik internasional dapat berlaku karena adanya seperangkat peraturan. Dalam hal ini, OI berperan sebagai pemegang kendali atas aturan-aturan yang diadopsi oleh masyarakat internasional. Meskipun OI dilegitimasi menjadi salah satu aktor internasional, namun perspektif internasionalis tetap memandang negara selaku aktor utama atau ‘the Ruler’. Serupa dengan Realis, tradisi Internasionalis juga menyatakan bahwa hanya negara yang kuat dapat bertahan di sistem kedaulatan era globalisasi.
Akan tetapi, integrasi dari
negara-negara yang tergabung untuk merumuskan peraturan secara kolektif mewakili
masyarakat internasional dalam suatu wadah IO, berhasil merumuskan konsep baru:
multilateralisme, bilateralisme, dan unilateralisme. Multilateralisme dalam hal
ini memiliki kerangka yang sama dengan “Configuration of Power” Kenneth Waltz,
dimana terdapat kombinasi atas beberapa elemen ataupun karakteristik berbeda
dari beberapa negara.[3]
- Universalis: berbeda dengan dua tradisi sebelumnya, tradisi ini bersifat non-state sentris. Tradisi ini berargumen bahwa generalisasi individu selaku masyarakat internasional memiliki kedudukan signifikan dalam sistem politik global. Peran OI, menurut analis unniversalis, berfungsi sebagai ‘regulator’, mediator, sekaligus menggantikan peran negara. Kedaulatan, baik secara internal maupun eksternal, mengikutsertakan OI, NGO, maupun organisasi lainnya menjadi refleksi masa depan globalisasi serta representasi dari peradaban internasional.
Dalam beberapa hal, sering terdapat persinggungan antarpemikiran/tradisi. Akan tetapi, berdirinya Uni Eropa (UE) dapat dikatakan sebagai salah satu mekanisme tension yang komprehensif. UE termasuk ke dalam elemen organisasi internasional (OI), mengakar pada tradisi Internasionalis dan Universalis. Ditinjau dari segi Universalis, para anggota EU mengkonsolidasi ‘pasar-bersama’ untuk perdagangan internasional, kebijakan sosial, maupun kebijakan lingkungan. Dan dari segi Internasionalis, UE juga memiliki lembaga hukum sendiri dengan mengedepankan kapabilitas perumusan kebijakan luar negeri ataupun kebijakan militer secara kolektif (aspek regulasi/peraturan).
Referensi
Steans, Jill
dan Lloyd Pettiford. Hubungan
Internasional: Perspektif dan Tema. Yogyakarta: pustaka Pelajar. 2009.
Waltz, Kenneth. Theory
of International Politics. California: Addison-Wesley Publishing. 1979.
[1] Jill
Steans dan Lloyd Pettiford. Hubungan
Internasional: Perspektif dan Tema. Yogyakarta: pustaka Pelajar. 2009.
Halm.58
[3] Kenneth
Waltz. Theory of International Politics. California:
Addison-Wesley Publishing. 1979. Halm.46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar